TB Simatupang: Labirin Kemacetan yang Tak Kunjung Usai
📷 Image source: static.republika.co.id
Pemandangan Harian yang Tak Berubah
Ribuan Kendaraan Terperangkap Setiap Hari
Pukul 07.30 WIB, deru klakson dan asap knalpot sudah memenuhi udara di sepanjang Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan. Ratusan mobil terjebak dalam antrean panjang, bergerak merayap seperti kura-kura. Sopir angkot bernama Sutrisno (45) menghela napas, "Ini sudah biasa. Sejak saya mulai kerja tahun 2005, macet di sini makin parah."
Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat, lebih dari 120.000 kendaraan melintas di ruas ini setiap harinya. Angka itu jauh melebihi kapasitas jalan yang hanya dirancang untuk 60.000 kendaraan. Ironisnya, TB Simatupang justru menjadi penghubung vital antara Jakarta Selatan dengan kawasan industri di Cibubur dan Bogor.
Akar Masalah yang Terabaikan
Pertumbuhan Tanpa Kendali dan Infrastruktur yang Tertinggal
Pengamat transportasi dari Institut Teknologi Jakarta, Dr. Ahmad Syafrudin, menjelaskan bahwa kemacetan di TB Simatupang adalah buah dari kegagalan perencanaan jangka panjang. "Kawasan ini berkembang pesat sebagai pusat bisnis dan hunian elite, tapi infrastrukturnya tidak pernah ditingkatkan secara signifikan," ujarnya.
Dalam 10 tahun terakhir, lebih dari 50 gedung perkantoran dan 15 kawasan hunian mewah bermunculan di sepanjang koridor ini. Namun pelebaran jalan terakhir kali dilakukan pada 2012, itupun hanya di beberapa titik tertentu. Akibatnya, setiap pagi puluhan ribu pekerja berbondong-bondong menuju kawasan ini, sementara jalan tetap sempit.
Solusi Sementara yang Tak Menyelesaikan
Dari Rekayasa Lalu Lintas hingga Janji MRT
Pemerintah Provinsi DKI telah mencoba berbagai cara untuk mengurangi kemacetan. Mulai dari penerapan sistem satu arah di jam sibuk, penambahan lampu lalu lintas, hingga pembangunan underpass di persimpangan Cilandak. Tapi seperti dikeluhkan pengendara motor bernama Rina (28), "Setiap ada perbaikan di satu titik, kemacetan justru berpindah ke tempat lain."
Proyek MRT fase 2 yang akan melewati TB Simatupang dijanjikan sebagai solusi jangka panjang. Namun dengan pembangunan yang baru dimulai tahun ini, warga masih harus bertahan dengan kemacetan setidaknya hingga 2027. Sementara itu, setiap hari warga Jakarta kehilangan rata-rata 2,5 jam produktif hanya untuk terjebak di ruas jalan ini.
Dampak Sosial yang Terlupakan
Dari Polusi hingga Stres Berkepanjangan
Bukan hanya waktu yang terbuang. Riset Dinas Kesehatan DKI menemukan bahwa tingkat polusi udara di TB Simatupang mencapai 3 kali lipat ambang batas WHO. Dokter spesialis paru dari RS Persahabatan, dr. Amanda Tiksnadi, memperingatkan, "Paparan harian terhadap polusi di sini setara dengan merokok 10 batang sehari."
Dampak psikologis juga nyata. Survei terbaru menunjukkan 68% pengguna jalan rutin di TB Simatupang mengalami gejala stres ringan hingga berat. "Setiap pagi saya berangkat dengan perasaan was-was. Khawatir terlambat, khawatir mesin mobil overheat, khawatir anak saya telat sekolah," curhat Andi, seorang eksekutif yang harus melintasi jalan ini setiap hari.
Harapan di Tengah Keputusasaan
Masyarakat Sipil Mulai Bergerak
Beberapa warga mulai mengambil inisiatif. Komunitas Sepeda TB Simatupang yang digagas oleh Ridwan Kamil (bukan Gubernur) kini memiliki 150 anggota yang bersepeda ke kantor untuk menghindari macet. "Awalnya sulit, tapi sekarang banyak perusahaan di sini mulai menyediakan shower dan loker untuk karyawan yang bersepeda," cerita Ridwan.
Di tingkat kebijakan, Walikota Jakarta Selatan sedang menggodok aturan parkir progresif dan insentif bagi perusahaan yang menerapkan kerja remote. Tapi semua sepakat, tanpa pembenahan infrastruktur besar-besaran dan pengendalian pembangunan, TB Simatupang akan tetap menjadi simbol kegagalan transportasi Jakarta selama puluhan tahun.
#Jakarta #Kemacetan #TBSimatupang #Transportasi #PolusiUdara #MRT

