
HIM: Gaya Visual Memukau tapi Pesan Sosial Terlalu Dipaksakan
📷 Image source: api.time.com
Perkenalan Film HIM
Kolaborasi Baru dalam Dunia Sinema Indonesia
Film HIM menjadi salah satu karya sinematografi Indonesia yang paling banyak dibicarakan pada kuartal ketiga 2025. Disutradarai oleh duo kreatif yang sebelumnya dikenal melalui karya-karya iklan, film ini menawarkan visual yang memukau dan teknik sinematografi yang sophisticated. Menurut time.com dalam ulasan yang terbit pada 19 September 2025, HIM digambarkan sebagai film yang memiliki gaya kuat namun menyampaikan pesan sosialnya dengan pendekatan yang terlalu terang-terangan dan kurang halus.
Dibintangi oleh sejumlah aktor dan aktris ternama Indonesia, film ini bercerita tentang dinamika kekuasaan, identitas, dan moralitas dalam lingkungan korporat yang kompetitif. Meskipun mengusung tema yang relevan dengan konteks sosial ekonomi Indonesia kontemporer, penyampaiannya justru dinilai terlalu eksplisit sehingga mengurangi kedalaman naratif yang sebenarnya bisa digali lebih dalam.
Sinopsis Cerita
Jalan Cerita yang Linear tapi Penuh Konflik
HIM mengisahkan tentang seorang eksekutif muda bernama Arga yang bekerja di sebuah perusahaan teknologi finansial di Jakarta. Arga digambarkan sebagai karakter ambisius yang ingin cepat naik jabatan, namun ia harus berhadapan dengan budaya korporat yang penuh intrik dan persaingan tidak sehat. Konflik utama muncul ketika ia mengetahui adanya praktik kecurangan yang dilakukan oleh atasannya demi mencapai target perusahaan.
Alur cerita film ini terbilang linear dan mudah diikuti, dengan titik balik yang jelas di pertengahan film. Namun, menurut time.com, pengembangan konflik terkesan dipaksakan dan kurang memberikan ruang bagi penonton untuk merenungkan kompleksitas moral yang dihadapi oleh karakter utamanya. Adegan-adegan penting seringkali disampaikan melalui dialog yang terlalu langsung dan kurang simbolis.
Analisis Gaya Visual
Sinematografi yang Memukau tapi Terkadang Overproduced
Salah satu kekuatan terbesar HIM terletak pada aspek visualnya. Penggunaan warna, pencahayaan, dan komposisi frame dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menciptakan atmosfer yang sesuai dengan nuansa cerita. Adegan-adegan di perkantoran modern didominasi oleh warna monokrom dan cahaya neon, mencerminkan kehidupan urban yang dingin dan impersonal.
Namun, time.com mencatat bahwa terkadang gaya visual ini justru terasa berlebihan dan mengalihkan perhatian dari substansi cerita. Beberapa adegan penting seolah dibuat hanya untuk memamerkan keindahan visual tanpa benar-benar memperkuat narasi atau perkembangan karakter. Efek khusus dan CGI yang digunakan juga dinilai terlalu mencolok untuk genre film drama sosial seperti ini.
Penokohan dan Akting
Performa Solid tapi Karakter Kurang Dikembangkan
Pemain utama HIM menunjukkan kemampuan akting yang solid dan meyakinkan. Pemeran protagonis berhasil menampilkan konflik batin karakter dengan baik, sementara antagonis digambarkan dengan cukup menyeramkan namun masih dalam koridor realisme. Chemistry antar pemain juga terasa natural, terutama dalam adegan-adegan dialog yang intens.
Sayangnya, pengembangan karakter dalam film ini dinilai kurang mendalam. Menurut time.com, banyak karakter pendukung yang muncul hanya sebagai alat untuk memajukan plot tanpa memiliki latar belakang atau motivasi yang jelas. Hal ini membuat interaksi antar karakter terasa dangkal dan mengurangi emotional impact yang seharusnya bisa didapat penonton dari konflik yang terjadi.
Pesan Sosial dan Kritik
Niat Baik yang Disampaikan dengan Terlalu Terang-terangan
HIM jelas memiliki niat baik untuk menyoroti berbagai isu sosial dalam dunia korporat Indonesia, seperti kesenjangan ekonomi, tekanan mental di tempat kerja, dan korupsi sistemik. Film ini berusaha mengkritik budaya kerja yang toxic dan ketimpangan kekuasaan yang sering terjadi dalam struktur perusahaan modern.
Namun, penyampaian pesan sosial ini dilakukan dengan cara yang terlalu blunt dan kurang nuanced. Menurut time.com, kritik sosial dalam film ini seringkali disampaikan melalui monolog atau dialog yang eksplisit, seolah-olah sutradara tidak percaya bahwa penonton mampu memahami pesan yang ingin disampaikan tanpa penjelasan verbal yang detail. Pendekatan seperti ini justru mengurangi kekuatan kritik itu sendiri dan membuatnya terkesan seperti ceramah daripada komentar sosial yang cerdas.
Perbandingan dengan Film Sejenis
Bagaimana HIM Berdiri di antara Film-film Sosial Indonesia Lainnya
Dalam konteks perfilman Indonesia, HIM dapat dibandingkan dengan film-film sosial sejenis seperti Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak atau Kucumbu Tubuh Indahku yang juga mengusung kritik sosial dengan pendekatan sinematik yang kuat. Namun, berbeda dengan film-film tersebut yang menyampaikan pesan melalui simbolisme dan narasi yang subtle, HIM memilih pendekatan yang lebih langsung dan eksplisit.
Perbedaan pendekatan ini bukan berarti buruk, tetapi menurut time.com, HIM kurang berhasil dalam menyeimbangkan antara gaya visual yang sophisticated dengan kedalaman naratif yang dibutuhkan untuk menyampaikan kritik sosial yang meaningful. Film ini terkesan lebih fokus pada style daripada substance, sehingga pesan yang ingin disampaikan justru kehilangan kekuatannya.
Aspek Teknis Produksi
Keunggulan di Bidang Teknis tapi Kurang di Naratif
Dari segi teknis, HIM jelas merupakan film yang diproduksi dengan budget besar dan perhatian terhadap detail. Kualitas suara, editing, dan visual effects sangat baik dan setara dengan standar internasional. Penggunaan musik latar juga efektif dalam membangun mood dan emosi dalam berbagai adegan, meskipun terkadang terasa terlalu melodramatik.
Namun, keunggulan teknis ini tidak sepenuhnya mampu menutupi kelemahan dalam pengembangan cerita. Menurut time.com, editing film terkadang terasa tidak konsisten, dengan transisi yang terlalu cepat di beberapa bagian dan terlalu lambat di bagian lain. pacing film secara keseluruhan juga dinilai kurang seimbang, dengan adegan climax yang datang terlalu cepat dan resolution yang terburu-buru.
Respons Penonton dan Kritik
Bagaimana HIM Diterima oleh Audiens Indonesia
Sejak rilis, HIM menerima respons yang beragam dari penonton Indonesia. Di satu sisi, banyak yang memuji visual dan akting yang ditampilkan, sementara di sisi lain tidak sedikit yang mengkritik penyampaian pesan yang terlalu dipaksakan. Film ini berhasil menarik perhatian kalangan muda urban yang terkoneksi dengan tema yang diusung, tetapi kurang berhasil memuaskan penonton yang mencari kedalaman cerita dan karakter.
Menurut time.com, perbedaan respons ini mencerminkan dilema dalam industri film Indonesia kontemporer antara membuat film yang accessible untuk massa versus film yang artistik dan thoughtful. HIM jelas berusaha menjangkau kedua audiens tersebut, tetapi menurut banyak kritikus, upaya ini justru membuat film tidak memiliki identitas yang kuat dan jelas.
Dampak dan Relevansi Sosial
Bagaimana HIM Merefleksikan Realitas Sosial Indonesia
Meskipun memiliki kekurangan dalam penyampaian, HIM tetap relevan dengan konteks sosial Indonesia saat ini. Film ini menyentuh isu-isu aktual seperti mental health di tempat kerja, ethical dilemma dalam dunia korporat, dan konflik antara ambition dan integrity. Isu-isu ini sangat resonate dengan generasi muda Indonesia yang sedang menghadapi tekanan karir dan identitas dalam ekonomi modern.
Namun, menurut time.com, film ini kurang berhasil dalam mengeksplorasi kompleksitas isu-isu tersebut secara mendalam. Alih-alih memberikan perspektif yang nuanced, HIM cenderung menyederhanakan konflik menjadi hitam-putih, dengan karakter yang jelas baik atau jahat dan solusi yang terlalu simplistik untuk masalah yang sebenarnya rumit dan multidimensi.
Masa Depan Film Sosial Indonesia
Pelajaran dari HIM untuk Industri Film Nasional
Keberadaan HIM dalam landscape perfilman Indonesia memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana menyampaikan kritik sosial melalui medium film. Film ini menunjukkan bahwa gaya visual yang memukau dan production value yang tinggi tidak cukup jika tidak didukung oleh narasi yang kuat dan penyampaian pesan yang subtle. Industri film Indonesia perlu belajar untuk lebih mempercayai intelligence penonton dalam memahami pesan tanpa harus menjelaskannya secara eksplisit.
Menurut time.com, HIM juga membuktikan bahwa minat terhadap film-film dengan tema sosial masih tinggi di Indonesia, asalkan disampaikan dengan cara yang engaging dan tidak menggurui. Film-film masa depan bisa belajar dari kekurangan HIM untuk menciptakan karya yang lebih seimbang antara style dan substance, antara entertainment dan social commentary.
Perspektif Pembaca
Bagaimana Pengalaman Anda dengan Film Bertema Sosial?
Kami ingin mengetahui pendapat Anda tentang film-film dengan tema sosial seperti HIM. Apakah Anda lebih menyukai film yang menyampaikan pesan secara langsung dan jelas, atau yang menyampaikannya melalui simbolisme dan membutuhkan interpretasi dari penonton? Bagaimana menurut Anda keseimbangan yang ideal antara hiburan dan pesan sosial dalam sebuah film?
Silakan bagikan pengalaman Anda menonton film-film bertema sosial, baik dari Indonesia maupun mancanegara. Apakah ada film tertentu yang menurut Anda berhasil menyampaikan kritik sosial dengan cara yang powerful tanpa terkesan menggurui? Pendapat Anda akan membantu kami memahami preferensi penonton Indonesia terhadap film-film dengan muatan sosial.
#FilmHIM #Sinematografi #ReviewFilm #DramaSosial #FilmIndonesia