UMP 2026: Kenaikan di 35 Provinsi Tak Cukup, Daya Beli Buruh di 30 Wilayah Terancam
📷 Image source: cdn1.katadata.co.id
Pengantar: Kenaikan Nominal yang Tertinggal
Angka di Atas Kertas vs Realita di Dompet
Pemerintah telah mengumumkan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun 2026 di seluruh 34 provinsi Indonesia, ditambah Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) DKI Jakarta. Seluruh angka menunjukkan kenaikan nominal dibandingkan tahun 2025. Namun, di balik tabel angka yang terlihat naik itu, tersembunyi sebuah realitas yang mengkhawatirkan bagi sebagian besar pekerja.
Menurut analisis yang dirilis katadata.co.id pada 24 Desember 2025, mayoritas provinsi justru menetapkan kenaikan UMP di bawah laju inflasi yang diproyeksikan. Konsekuensinya, daya beli riil pekerja di 30 provinsi diperkirakan akan tergerus. Artinya, meskipun gaji mereka bertambah secara nominal, nilai uang tersebut untuk membeli barang dan jasa justru menyusut, memaksa mereka untuk 'makan tabungan' atau mengurangi konsumsi.
Metode Perhitungan: Formula Baru yang Kontroversial
PP No. 51 Tahun 2023 dan Batasan Kenaikan
Penetapan UMP 2026 ini merupakan yang pertama kali menggunakan formula baru berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2023. Formula ini menghitung upah minimum dengan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Namun, aturan ini juga membatasi besaran kenaikan, yang menjadi pangkal masalah menurut banyak pengamat.
PP tersebut mensyaratkan bahwa kenaikan upah minimum tidak boleh melebihi hasil perhitungan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks 2026, batas atas ini menjadi patokan yang justru dianggap terlalu ketat oleh serikat pekerja. Mereka berargumen bahwa formula ini tidak secara memadai mencerminkan kebutuhan hidup layak (KHL) yang terus meningkat, terutama di daerah dengan pertumbuhan biaya hidup yang cepat.
Peta Kenaikan: Siapa yang Paling Tinggi dan Paling Rendah?
Disparitas Antarwilayah yang Masih Lebar
Data dari katadata.co.id menunjukkan disparitas yang masih sangat lebar. Provinsi dengan kenaikan UMP tertinggi adalah Kalimantan Utara, yang naik sebesar 8,27%. Di posisi kedua, Papua Barat Daya mencatat kenaikan 7,95%. Kenaikan signifikan ini, meski masih perlu dilihat apakah mengimbangi inflasi lokal, setidaknya memberikan sedikit ruang napas bagi pekerja di dua provinsi tersebut.
Di sisi lain, beberapa provinsi mencatat kenaikan yang sangat minim. Gorontalo, misalnya, hanya menaikkan UMP sebesar 2,50%. Angka ini jauh di bawah proyeksi inflasi nasional yang disebutkan dalam artikel, yaitu sebesar 3,6%. Provinsi-provinsi dengan kenaikan rendah lainnya termasuk Sulawesi Barat (3,00%) dan Sulawesi Tenggara (3,01%). Kenaikan yang rendah ini langsung memicu kekhawatiran akan penurunan daya beli yang signifikan.
Analisis Daya Beli: Kesenjangan antara UMP dan Inflasi
30 Provinsi di Bawah Garis Merah
Inilah inti persoalannya. Artikel katadata.co.id menyoroti bahwa dari 35 wilayah (34 provinsi plus UMSP DKI), hanya 5 wilayah yang kenaikan UMP-nya diperkirakan mampu mengalahkan atau setara dengan laju inflasi. Kelima wilayah tersebut adalah Kalimantan Utara, Papua Barat Daya, DKI Jakarta (UMSP), Kepulauan Riau, dan Riau. Kenaikan di wilayah-wilayah ini dianggap dapat mempertahankan atau sedikit meningkatkan daya beli riil pekerja.
Sebaliknya, di 30 provinsi lainnya, kenaikan UMP berada di bawah angka inflasi. Ini menciptakan apa yang disebut 'kenaikan negatif' dalam ekonomi. Misalnya, jika inflasi suatu provinsi diproyeksikan 3,6% tetapi UMP hanya naik 3,0%, maka terjadi penurunan daya beli sebesar 0,6%. Penurunan ini mungkin terlihat kecil dalam persentase, tetapi ketika dialami oleh jutaan pekerja dengan upah yang sudah pas-pasan, dampak kumulatifnya terhadap perekonomian rumah tangga dan konsumsi nasional bisa sangat besar.
Dampak terhadap Pekerja dan Rumah Tangga
Mengulur Tabungan dan Mengetatkan Ikat Pinggang
Bagi buruh atau pekerja dengan upah di sekitar angka UMP, situasi ini berarti tekanan finansial yang lebih berat. Dengan daya beli yang menyusut, mereka harus membuat pilihan-pilihan sulit: mengurangi porsi atau kualitas makanan, menunda pembelian kebutuhan sekunder, atau berhutang. Istilah 'makan tabungan' dalam judul artikel asli menggambarkan kondisi darurat dimana pendapatan tidak lagi cukup untuk menutup kebutuhan bulanan, sehingga simpanan yang sedikit harus digunakan.
Dampaknya bersifat berantai. Ketika daya beli pekerja turun, konsumsi rumah tangga—yang merupakan penopang utama perekonomian Indonesia—akan melemah. Sektor ritel dan usaha mikro kecil (UMK) yang mengandalkan pembelian masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah akan merasakan efeknya. Dalam skala makro, hal ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, menciptakan sebuah siklus yang sulit diputus.
Respons dan Kritik dari Serikat Pekerja
Tuntutan yang Belum Terpenuhi
Tidak mengherankan, keputusan ini menuai kritik pedas dari berbagai serikat pekerja. Mereka menilai formula dalam PP 51/2023 telah gagal menjamin pemenuhan kebutuhan hidup layak. Kritik utama adalah bahwa perhitungan inflasi yang digunakan seringkali tidak menangkap kenaikan harga sebenarnya dari barang-barang kebutuhan pokok di tingkat akar rumput, sehingga menghasilkan angka kenaikan upah yang tidak realistis.
Serikat pekerja juga mempertanyakan transparansi dan partisipasi dalam proses penetapan. Mereka merasa suara mereka tidak didengarkan secara memadai dalam sidang dewan pengupahan di berbagai daerah. Beberapa serikat telah mengancam akan melakukan judicial review terhadap PP tersebut atau melakukan aksi unjuk rasa, menuntut revisi peraturan dan penetapan upah yang benar-benar berkeadilan.
Perspektif Pemerintah dan Pengusaha
Menjaga Daya Saing dan Mencegah PHK
Di sisi lain, pemerintah dan asosiasi pengusaha memiliki argumentasi yang berbeda. Pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan, kemungkinan besar berpegangan pada PP 51/2023 sebagai instrumen untuk menciptakan kepastian dan menghindari lonjakan upah yang tidak terkendali. Mereka berargumen bahwa kenaikan upah yang terlalu tinggi di tengah kondisi ekonomi global yang tidak pasti dapat membebani dunia usaha, terutama sektor padat karya dan UMK.
Asosiasi pengusaha, seperti yang mungkin diwakili oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) atau Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), sering kali menyuarakan kekhawatiran tentang daya saing. Mereka berpendapat bahwa biaya tenaga kerja yang meningkat tajam dapat membuat iklim investasi kurang menarik dan berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) jika perusahaan tidak mampu menanggung beban tersebut. Bagi mereka, kenaikan upah yang moderat adalah kompromi untuk menjaga keberlangsungan usaha dan lapangan kerja.
Perbandingan Internasional: Bagaimana Negara Lain Menetapkan Upah Minimum?
Belajar dari Berbagai Model
Persoalan upah minimum bukan hanya milik Indonesia. Banyak negara menghadapi dilema serupa: menyeimbangkan antara kesejahteraan pekerja dan kesehatan bisnis. Beberapa negara, seperti Australia dan Prancis, menetapkan upah minimum nasional yang cukup tinggi dan secara rutin ditinjau oleh lembaga independen dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan kebutuhan pekerja. Model ini cenderung lebih protektif terhadap pekerja.
Di sisi lain, negara seperti Amerika Serikat memiliki sistem yang lebih terdesentralisasi, dimana upah minimum ditetapkan di tingkat federal dan negara bagian, seringkali menimbulkan disparitas besar antar wilayah. Sementara itu, beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Thailand, juga aktif menaikkan upah minimum untuk meningkatkan daya beli domestik. Perbandingan ini menunjukkan tidak ada satu formula yang sempurna, tetapi transparansi, partisipasi sosial, dan penyesuaian terhadap kondisi lokal adalah kunci umum yang sering disebut.
Risiko dan Batasan Kebijakan Saat Ini
Potensi Jebakan Jangka Menengah
Kebijakan UMP 2026 yang tertinggal dari inflasi membawa beberapa risiko jangka menengah. Pertama, risiko stagnansi upah riil, dimana pekerja terjebak dalam lingkaran dimana kenaikan gaji mereka selalu kalah dari kenaikan harga. Ini dapat memperparah ketimpangan pendapatan dan menurunkan mobilitas sosial. Kedua, risiko terhadap produktivitas. Pekerja yang terus-menerus dilanda kekhawatiran finansial mungkin mengalami stres yang berdampak pada konsentrasi, kesehatan, dan pada akhirnya, produktivitas kerja.
Batasan utama dari formula saat ini adalah rigiditasnya. Formula yang terlalu mengandalkan dua variabel makro (inflasi dan pertumbuhan ekonomi) mungkin gagal menangkap kompleksitas dinamika pasar tenaga kerja, produktivitas sektoral, dan biaya hidup spesifik di setiap daerah. Selain itu, ketergantungan pada proyeksi inflasi—yang bisa meleset—menjadikan upah minimum rentan terhadap kesalahan perhitungan di awal tahun.
Masa Depan dan Opsi Kebijakan Alternatif
Mencari Jalan Tengah yang Berkelanjutan
Ke depan, diperlukan evaluasi mendalam terhadap efektivitas PP 51/2023. Dialog sosial yang lebih inklusif dan substantif antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja adalah keharusan. Opsi yang mungkin dipertimbangkan termasuk memasukkan indikator tambahan ke dalam formula, seperti indeks harga kebutuhan pokok tertentu atau produktivitas rata-rata sektor.
Alternatif lain adalah memperkuat sistem jaring pengaman sosial (social safety net) di luar mekanisme upah. Program bantuan sosial yang tepat sasaran, subsidi untuk transportasi publik, atau program perumahan terjangkau dapat membantu meringankan beban hidup pekerja berpenghasilan rendah tanpa secara langsung membebani biaya produksi perusahaan. Pendekatan multidimensi seperti ini mungkin lebih berkelanjutan daripada sekadar bergantung pada penyesuaian upah minimum tahunan.
Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Angka
UMP sebagai Cerminan Prioritas
Pengumuman UMP 2026 bukan sekadar daftar angka statistik. Ia adalah cerminan dari prioritas kebijakan dan hasil tarik-ulur kepentingan antara perlindungan sosial dan efisiensi ekonomi. Fakta bahwa mayoritas provinsi menetapkan kenaikan di bawah inflasi mengirimkan sinyal yang kuat tentang tekanan ekonomi yang dihadapi dan pilihan politik yang diambil.
Situasi ini menempatkan jutaan pekerja, khususnya di 30 provinsi tersebut, dalam posisi yang rentan. Mereka tidak hanya berjuang melawan inflasi, tetapi juga melawan formula perhitungan yang mungkin tidak memihak. Tahun 2026 akan menjadi tahun ujian, baik bagi ketahanan finansial rumah tangga pekerja, maupun bagi klaim pemerintah tentang perlindungan terhadap tenaga kerja. Dampak riil dari keputusan ini baru akan terasa sepenuhnya ketika angka-angka di atas kertas itu berubah menjadi pilihan-pilihan sehari-hari di meja makan dan di pasar.
Perspektif Pembaca
Bagaimana pengalaman atau pengamatan Anda terkait daya beli dan upah? Apakah kenaikan upah di daerah Anda selama beberapa tahun terakhir terasa mampu mengimbangi kenaikan harga kebutuhan sehari-hari? Ceritakan perspektif Anda berdasarkan profesi atau lokasi tempat tinggal.
Atau, pilih salah satu pernyataan berikut yang paling sesuai dengan pandangan Anda tentang kebijakan upah minimum: 1) Pemerintah harus lebih berani menaikkan UMP untuk melindungi daya beli pekerja, meski berisiko membebani pengusaha. 2) Kenaikan UMP harus moderat seperti sekarang untuk menjaga iklim investasi dan mencegah PHK. 3) Sistem upah minimum perlu diganti dengan model lain yang lebih komprehensif, seperti skala upah berdasarkan sektor dan skill.
#UMP2026 #UpahMinimum #DayaBeli #Buruh #EkonomiIndonesia #Inflasi

