Mantan Guru Dulwich Ungkap Budaya Rasialisme: Tuduhan terhadap Nigel Farage dan Warisan yang Terlupakan
📷 Image source: i.guim.co.uk
Pengakuan dari Dalam Tembok Sekolah Elit
Sebuah Kesaksian yang Lama Terpendam
Sebuah kesaksian dari mantan guru di Dulwich College, sebuah sekolah independen bergengsi di London selatan, mengungkapkan klaim tentang lingkungan yang memungkinkan perilaku rasis selama tahun 1980-an. Mantan guru bahasa tersebut, yang diwawancarai oleh theguardian.com, menyatakan dengan tegas tentang seorang figur politik terkemuka Inggris. "Tentu saja dia melecehkan murid-murid," ujarnya, merujuk pada Nigel Farage, mantan pemimpin Partai Kemerdekaan Inggris (UKIP) dan tokoh Brexit, yang merupakan alumni sekolah tersebut.
Wawancara mendalam ini, diterbitkan pada 2025-12-28T06:00:03+00:00 menurut theguardian.com, muncul di tengah sorotan publik yang berulang terhadap masa lalu Farage dan penyangkalan berkelanjutannya terhadap tuduhan perilaku rasis selama masa sekolahnya. Mantan guru ini, yang memilih untuk tidak disebutkan namanya, memberikan gambaran rinci tentang budaya di sekolah asrama khusus laki-laki itu, di mana kekerasan verbal berdasarkan ras dikatakan terjadi. Kesaksiannya menantang narasi yang telah dibangun selama beberapa dekade.
Siapa Nigel Farage dan Kaitannya dengan Dulwich College
Dari Bangku Sekolah ke Panggung Politik Nasional
Nigel Farage adalah seorang politisi dan penyiar Inggris yang menjadi wajah gerakan kampanye untuk Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit). Sebagai mantan pemimpin UKIP dan kemudian Partai Reformasi Inggris, pengaruhnya dalam politik Inggris dianggap signifikan, meskipun sering kontroversial. Farage menghabiskan masa sekolahnya sebagai murid asrama di Dulwich College antara tahun 1975 dan 1982, sebuah periode yang kini menjadi subjek penyelidikan baru melalui kesaksian mantan staf.
Dulwich College sendiri didirikan pada tahun 1619 dan telah mendidik banyak tokoh terkemuka Inggris. Sekolah dengan biaya hingga puluhan ribu pound per tahun ini mewakili institusi pendidikan elit yang sering dikaitkan dengan jaringan kekuasaan tradisional Inggris. Konteks institusi ini penting untuk memahami dinamika kekuasaan dan budaya yang dijelaskan oleh mantan guru tersebut, di mana hierarki yang kaku antara guru dan murid, serta di antara murid-murid sendiri, menciptakan lingkungan yang kompleks.
Inti Tuduhan: Pelecehan Verbal dan Budaya yang Membiarkan
Apa yang Diklaim Terjadi di Koridor dan Asrama
Menurut kesaksian mantan guru tersebut kepada theguardian.com, Farage secara terlibat dalam pelecehan verbal yang menargetkan murid-murid dari etnis minoritas. Klaim spesifiknya termasuk penggunaan istilah-istilah rasis yang menghina dan perilaku intimidasi. Yang lebih mengkhawatirkan, sang guru menggambarkan suatu budaya di mana tindakan semacam itu tidak ditangani dengan serius oleh pihak berwenang di sekolah pada waktu itu, menciptakan atmosfer yang memungkinkan perilaku tersebut terus berlanjut.
Kesaksian ini tidak berdiri sendiri sebagai ingatan yang terisolasi. Mantan guru itu menyatakan bahwa perilaku tersebut diketahui oleh beberapa anggota staf lainnya. Deskripsi tentang lingkungan yang 'membiarkan' atau bahkan secara pasif mentolerir komentar rasis ini menjadi titik fokus utama dari pengakuannya. Ini menunjukkan masalah sistemik, bukan sekadar insiden yang dilakukan oleh individu. Mekanisme disiplin dan pengawasan di sekolah asrama pada era tersebut dipertanyakan efektivitasnya dalam menangani bentuk-bentuk pelecehan non-fisik seperti ini.
Penyangkalan Farage dan Respons Institusi
Pertarungan Narasi atas Masa Lalu
Nigel Farage telah berulang kali menyangkal keras segala tuduhan perilaku rasis selama masa sekolahnya. Dalam berbagai pernyataan publik sebelumnya, ia menggambarkan klaim-klaim tersebut sebagai bagian dari kampanye fitnah yang dimotivasi secara politik untuk mencemarkan namanya. Ia sering menyebut dirinya sebagai korban dari 'cancel culture' atau upaya untuk menghapus sejarah. Penyangkalan ini menciptakan ketegangan langsung dengan kesaksian pertama dari figur otoritatif seperti mantan guru yang kini berbicara.
Sementara itu, respons dari Dulwich College sendiri, berdasarkan laporan theguardian.com, cenderung hati-hati. Sekolah umumnya menyatakan komitmen terhadap kesetaraan dan keragaman di era modern, tetapi sering menghindari komentar mendetail tentang insiden historis spesifik yang melibatkan individu, mengutip kerahasiaan dan kesulitan dalam menyelidiki peristiwa puluhan tahun yang lalu. Pendekatan ini meninggalkan ruang kosong antara pengakuan korban atau saksi dan rekonsiliasi resmi, sebuah pola yang terlihat di banyak institusi lama yang menghadapi pertanyaan tentang masa lalunya.
Konteks Historis: Inggris pada 1970-an & 1980-an
Lanskap Rasial di Luar Gerbang Sekolah
Untuk memahami sepenuhnya klaim-klaim ini, penting untuk menempatkan Dulwich College tahun 1970-an dan 1980-an dalam konteks sosial Inggris yang lebih luas. Ini adalah era pasca-gelombang imigrasi dari negara-negara Persemakmuran, dengan ketegangan rasial yang kadang memuncak, seperti dalam kerusuhan Brixton 1981. Diskursus publik tentang ras, integrasi, dan identitas Inggris sedang dalam flux. Namun, sekolah-sekolah berasrama elit seperti Dulwich sering dianggap sebagai 'gelembung' yang terisolasi sebagian dari perubahan masyarakat ini.
Di dalam gelembung ini, norma-norma dan hierarki internal bisa jadi sangat berbeda. Kode etik 'macho' dan tekanan untuk konformitas di antara remaja laki-laki di lingkungan asrama bisa memperburuk perilaku intimidasi. Istilah-istilah rasis yang mungkin mulai dikritik di ruang publik yang lebih luas masih bisa digunakan secara umum di koridor sekolah tertentu sebagai bagian dari dinamika kekuasaan antar murid. Konteks ini tidak membenarkan perilaku, tetapi membantu menjelaskan mengapa budaya yang dijelaskan oleh mantan guru itu mungkin berkembang dan mengapa intervensi dari otoritas dewasa mungkin kurang.
Analisis Dampak: Dari Masa Sekolah ke Karir Politik
Menelusuri Jejak Narasi
Pertanyaan sentral yang diajukan oleh kesaksian ini adalah tentang kontinuitas dan konsekuensi. Apakah sikap atau perilaku yang diklaim terbentuk di masa sekolah memengaruhi retorika dan kebijakan politik di kemudian hari? Pengkritik Farage sering menunjuk pada retorikanya tentang imigrasi, yang mereka anggap divisif, sebagai gema dari masa lalunya. Mereka berargumen bahwa pengalaman di lingkungan yang mentolerir komentar rasis dapat menormalkan pandangan dunia tertentu. Ini adalah klaim yang sulit untuk dibuktikan secara definitif namun tetap menjadi bagian dari analisis publik terhadap figurnya.
Di sisi lain, pendukung Farage akan berargumen bahwa masa kecil seseorang tidak harus menentukan atau menodai seluruh hidup dan karir dewasanya. Mereka mungkin melihat penyelidikan ini sebagai upaya untuk mendiskreditkan pandangan politik yang sah melalui serangan pribadi. Namun, dampak dari pengakuan semacam ini melampaui individu. Dampaknya menyentuh legitimasi institusi seperti Dulwich College dan memicu refleksi lebih luas tentang bagaimana sekolah-sekolah elit membentuk—atau gagal membentuk—nilai-nilai kewarganegaraan para pemimpin masa depan.
Mekanisme Pelecehan di Lingkungan Asrama
Bagaimana Kekuasaan dan Isolasi Berperan
Struktur kehidupan asrama, seperti yang digambarkan oleh mantan guru, menciptakan kondisi yang unik untuk pelecehan. Murid-murid tinggal bersama 24 jam sehari, jauh dari pengawasan langsung keluarga, menciptakan mikro-kosmos dengan hierarki sosialnya sendiri. Dalam sistem seperti ini, senioritas (baik berdasarkan usia maupun tahun ajaran) sering kali memberikan kekuasaan yang signifikan. Murid yang lebih tua atau lebih populer dapat mengintimidasi yang lebih muda atau yang dianggap 'berbeda' dengan sedikit risiko intervensi dari dewasa, terutama jika pelecehan tersebut bersifat verbal dan terjadi di ruang-ruang privat seperti asrama atau kamar mandi.
Mekanisme pelecehan sering kali melibatkan penguatan kelompok dengan menciptakan 'orang luar'. Menggunakan ras, etnis, atau penampilan fisik sebagai alat untuk mengolok-olok adalah cara cepat untuk membangun solidaritas kelompok di antara pelaku dan mengasingkan korban. Jika otoritas guru atau pengawas asrama memilih untuk mengabaikan perilaku ini, menganggapnya sebagai 'hanya bercanda' atau 'bagian dari tumbuh dewasa', maka budaya tersebut menjadi semakin mengakar. Korban kemudian merasa tidak memiliki jalan untuk melapor, karena sistem dianggap tidak akan membela mereka.
Perbandingan Internasional: Menghadapi Masa Lalu di Institusi Elit
Bukan Fenomena yang Terisolasi di Inggris
Tantangan dalam menghadapi klaim pelecehan historis dan rasisme bukanlah hal yang unik bagi Dulwich College atau sistem sekolah Inggris. Di Amerika Serikat, sekolah persiapan Ivy League yang bergengsi seperti Phillips Exeter Academy dan The Lawrenceville School telah menghadapi penyelidikan serupa dan proses rekonsiliasi atas pelecehan dan diskriminasi di masa lalu. Di Australia, sekolah-sekolah Grammar yang elit juga menghadapi pertanyaan tentang budaya mereka. Pola yang muncul sering kali sama: kesaksian dari korban atau saksi mata yang muncul setelah puluhan tahun, penyangkalan atau minimisasi dari pihak yang dituduh, dan institusi yang berjuang untuk merespons tanpa merusak reputasi mereka.
Apa yang membedakan kasus ini adalah keterkaitan langsung dengan seorang politisi yang masih aktif dan sangat dikenal publik. Ini mengangkat pertanyaan tentang akuntabilitas publik. Di banyak negara, masa lalu seorang calon pemimpin menjadi bahan pemeriksaan yang ketat. Namun, standar bukti dan relevansi yang diterapkan sering kali diperdebatkan. Beberapa berargumen bahwa tindakan di masa remaja harus diberi keringanan, sementara yang lain percaya bahwa pola perilaku, terutama yang melibatkan pelecehan terhadap orang lain, adalah indikator karakter yang penting.
Risiko dan Batasan Kesaksian Historis
Mencari Kebenaran di Tengah Ingatan yang Memudar
Mengandalkan ingatan tentang peristiwa yang terjadi lebih dari empat dekade yang lalu penuh dengan tantangan dan batasan. Ingatan manusia dapat berubah, memudar, atau terdistorsi seiring waktu. Motivasi saksi, baik yang disadari maupun tidak, juga dapat dipertanyakan. Dalam kasus ini, mantan guru tersebut mungkin memiliki persepsi atau biasnya sendiri. Farage, di sisi lain, memiliki kepentingan pribadi yang besar untuk menyangkal klaim tersebut. Ini menciptakan situasi 'kata-katanya melawan kata-katanya' yang klasik namun sulit dipecahkan tanpa bukti pendukung yang kuat seperti dokumen sekolah dari era tersebut (catatan disiplin, keluhan resmi) atau kesaksian dari murid lain yang secara spesifik mengingat insiden yang sama.
Namun, ketiadaan bukti dokumenter bukanlah bukti ketiadaan. Banyak insiden pelecehan, terutama yang verbal, tidak pernah tercatat secara resmi. Korban mungkin terlalu takut untuk melapor, atau laporan mereka tidak diambil serius dan tidak diarsipkan. Oleh karena itu, nilai dari kesaksian personal seperti ini sering kali terletak pada penggambaran pola dan budaya, bukan pada pembuktian insiden spesifik di pengadilan hukum. Ini lebih tentang membangun gambaran historis yang kredibel daripada membuktikan kesalahan di luar keraguan yang wajar.
Implikasi untuk Pendidikan dan Akuntabilitas Institusi
Pelajaran untuk Masa Depan
Kasus ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang tanggung jawab institusi pendidikan terhadap murid-muridnya, baik di masa lalu, sekarang, dan masa depan. Jika klaim-klaim tersebut akurat, apa kewajiban Dulwich College hari ini? Apakah sekadar menyatakan komitmen terhadap nilai-nilai modern sudah cukup, atau apakah diperlukan penyelidikan historis yang transparan, permintaan maaf, atau bahkan reparasi simbolis kepada mereka yang mungkin terdampak oleh budaya tersebut? Banyak institusi serupa memilih untuk menugaskan komite independen atau sejarawan untuk meneliti masa lalu mereka, sebuah proses yang bisa menyakitkan tetapi dianggap penting untuk pertumbuhan etis.
Lebih luas lagi, ini menyoroti perlunya mekanisme pelaporan dan penanganan yang kuat untuk pelecehan dan diskriminasi di semua sekolah, terutama di lingkungan asrama yang tertutup. Pendidikan anti-rasisme dan kesadaran bias tidak bisa hanya menjadi tambahan kurikulum; itu harus tertanam dalam budaya dan kebijakan disiplin institusi. Pelatihan bagi staf untuk mengenali dan menangani pelecehan verbal yang halus sekalipun menjadi krusial. Institusi tidak bisa lagi bersembunyi di balik argumen 'itu adalah zaman yang berbeda', karena dampaknya terhadap individu bisa bertahan seumur hidup.
Perspektif Pembaca
Suara Anda dalam Dialog Nasional
Kisah ini menyentuh saraf yang mendalam tentang memori, akuntabilitas, dan warisan institusi kita. Di satu sisi, ada keinginan untuk keadilan dan pengakuan atas penderitaan yang mungkin terjadi di balik tembok tertutup. Di sisi lain, ada pertanyaan tentang batasan menyelidiki masa lalu seseorang dan relevansinya dengan kehidupan dewasanya.
Kami mengundang Anda untuk berbagi perspektif Anda. Apakah pengalaman Anda sendiri—baik sebagai murid, orang tua, atau pendidik—di lingkungan sekolah, terutama yang berasrama, membentuk pandangan Anda tentang kisah ini? Apakah Anda pernah menyaksikan atau mengalami dinamika kekuasaan dan toleransi terhadap komentar yang merendahkan berdasarkan latar belakang? Bagaimana institusi, menurut Anda, harus menanggung tanggung jawab atas budaya yang mereka biarkan berkembang di masa lalu, meskipun norma sosial saat itu mungkin berbeda?
#Rasialisme #NigelFarage #DulwichCollege #SejarahInggris #Politik

