Ekonom Peringatkan Harga Global Bisa Tembus Rekor Tertinggi pada 2026
📷 Image source: assets.finbold.com
Peringatan Resesi dan Lonjakan Harga dari Seorang Ekonom
Analisis Terbaru Memproyeksikan Tantangan Ekonomi Global
Sebuah analisis ekonomi terbaru memperingatkan bahwa harga-harga barang dan jasa global berpotensi mencapai level tertinggi sepanjang masa pada tahun 2026. Peringatan ini muncul di tengah kekhawatiran yang terus membesar mengenai stabilitas ekonomi dunia. Menurut laporan dari finbold.com yang diterbitkan pada 30 Desember 2025, ekonom Peter Earle telah mengeluarkan proyeksi yang mengkhawatirkan ini.
Earle, yang merupakan seorang ekonom di American Institute for Economic Research (AIER), menyatakan bahwa meskipun inflasi mungkin telah mencapai puncaknya, dampak penuhnya terhadap harga konsumen masih akan terasa dalam beberapa tahun ke depan. 'Kami belum melihat yang terburuk,' ujarnya, seperti dikutip dalam laporan tersebut. Pernyataan ini menegaskan bahwa tantangan ekonomi yang dihadapi konsumen dan bisnis mungkin belum berakhir.
Inflasi Puncak vs. Realitas Harga di Tingkat Ritel
Mengapa Biaya Hidup Masih Bisa Terus Naik
Salah satu poin kunci dalam analisis Earle adalah perbedaan antara 'inflasi puncak' secara statistik dan kenaikan harga aktual yang dirasakan masyarakat. Menurut finbold.com, Earle menjelaskan bahwa meskipun laju kenaikan harga (inflasi) mungkin melambat, harga barang itu sendiri tidak serta merta turun. Mereka bisa stabil di level yang sudah tinggi atau bahkan terus merangkak naik, meski dengan kecepatan yang lebih rendah.
Proses ini seringkali tertunda. Kenaikan harga di tingkat produsen atau grosir membutuhkan waktu untuk merambat ke rak-rak supermarket dan tagihan belanja bulanan keluarga. Earle memperingatkan bahwa efek penuh dari kebijakan moneter dan gejolak rantai pasokan beberapa tahun terakhir mungkin belum sepenuhnya tercermin dalam harga yang kita bayar hari ini. Ini berarti tekanan pada anggaran rumah tangga bisa bertahan lebih lama dari yang diharapkan banyak orang.
Peran Kebijakan The Fed dan Suku Bunga Tinggi
Bagaimana Langkah Bank Sentral AS Memengaruhi Dunia
Laporan finbold.com menyoroti peran Federal Reserve (The Fed), bank sentral Amerika Serikat, dalam narasi ini. Untuk meredam inflasi yang melonjak, The Fed telah menaikkan suku bunga secara agresif. Namun, menurut analisis Peter Earle, langkah-langkah pengetatan moneter ini justru dapat menjadi pemicu resesi.
Earle berargumen bahwa suku bunga yang tinggi memberatkan bisnis dan konsumen, mengurangi pengeluaran, dan pada akhirnya memperlambat ekonomi secara signifikan. Dia memperingatkan bahwa resesi adalah 'harga yang harus dibayar' untuk mengendalikan inflasi. Ketika resesi terjadi, pemerintah dan bank sentral sering kali merespons dengan stimulus fiskal dan moneter yang masif, yang pada siklus berikutnya dapat kembali memicu tekanan inflasi, menciptakan sebuah siklus yang kompleks.
Skenario 'Stagflasi' dan Dampaknya
Ketika Pertumbuhan Mandek tapi Harga Terus Melambung
Ancaman yang lebih suram adalah kemungkinan kembalinya stagflasi, sebuah kondisi di mana ekonomi stagnan atau bahkan menyusut (resesi) sementara inflasi tetap tinggi. Ini adalah mimpi buruk bagi para pembuat kebijakan karena alat tradisional untuk merangsang ekonomi justru dapat memperburuk inflasi.
Menurut laporan tersebut, Earle melihat kemungkinan skenario ini. Kombinasi dari pertumbuhan yang lemah dan harga yang terus meningkat akan memeras daya beli masyarakat dari dua sisi: pendapatan yang stagnan dan pengeluaran yang membengkak. Skenario seperti ini dapat mendorong harga ke level rekor baru, bukan karena permintaan yang kuat, tetapi karena guncangan penawaran dan dinamika kebijakan yang rumit. Bagaimana negara-negara di dunia, termasuk Indonesia yang terhubung dengan rantai pasok global, akan menghadapi dampak dari kondisi seperti ini?
Pelajaran dari Sejarah Inflasi 1970-an
Parallel dengan Masa Lalu yang Tidak Menyenangkan
Analisis Earle, seperti dilaporkan finbold.com, menarik paralel dengan periode inflasi tinggi di era 1970-an. Pada masa itu, inflasi sempat mereda sebelum kemudian melonjak kembali ke level yang lebih tinggi, mencapai puncaknya bertahun-tahun setelah krisis dimulai.
Pola ini yang dikhawatirkan akan terulang. Kepercayaan diri yang prematur bahwa inflasi telah dikalahkan dapat menyebabkan kecerobohan dalam kebijakan. Jika bank sentral terlalu cepat melonggarkan kebijakan atau pemerintah terlalu agresif dalam stimulus sebelum tekanan harga benar-benar padam, api inflasi bisa menyala kembali dengan lebih kuat. Sejarah menunjukkan bahwa mengatasi inflasi yang sudah berakar seringkali membutuhkan waktu lebih lama dan menyebabkan rasa sakit ekonomi yang lebih dalam daripada yang diperkirakan awalnya.
Implikasi untuk Pasar Keuangan dan Aset
Lingkungan Investasi yang Penuh Ketidakpastian
Proyeksi harga yang mencapai rekor tertinggi tentu membawa implikasi luas bagi pasar keuangan. Lingkungan inflasi yang persisten dan ancaman resesi menciptakan medan yang sulit bagi investor. Aset tradisional seperti obligasi dapat tertekan oleh suku bunga tinggi, sementara saham menghadapi risiko penurunan laba perusahaan akibat perlambatan ekonomi.
Di sisi lain, aset yang sering dianggap sebagai lindung nilai inflasi, seperti emas atau komoditas tertentu, mungkin menarik perhatian. Namun, volatilitas yang tinggi akan menjadi tantangan tersendiri. Laporan finbold.com menggarisbawahi bahwa peringatan Earle ini bukan hanya tentang harga konsumen, tetapi tentang seluruh ekosistem ekonomi global yang sedang menyesuaikan diri dengan realitas baru pasca-pandemi dan ketegangan geopolitik.
Respons Kebijakan dan Jalan ke Depan
Apa yang Bisa Dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Sentral?
Lalu, apa jalan keluar dari situasi yang rumit ini? Menurut analisis yang dikutip finbold.com, tidak ada solusi yang mudah. Earle menyoroti dilema yang dihadapi The Fed dan bank sentral lainnya: terus mempertahankan suku bunga tinggi untuk melawan inflasi dan mempertaruhkan resesi yang dalam, atau mulai melonggarkan kebijakan dan berisiko membuka pintu bagi gelombang inflasi baru.
Kebijakan fiskal pemerintah juga memegang peranan kritis. Pengeluaran defisit yang besar dapat menambah tekanan inflasi. Koordinasi yang hati-hati dan komitmen untuk disiplin kebijakan dibutuhkan, meski seringkali sulit secara politis. Tantangannya adalah menavigasi jalan sempit antara mengendalikan harga dan mempertahankan stabilitas sosial-ekonomi.
Kesiapan Indonesia Menghadapi Gelombang Global
Membaca Tanda-Tanda Eksternal untuk Ketahanan Domestik
Peringatan dari ekonom seperti Peter Earle ini berfungsi sebagai sinyal peringatan dini bagi semua negara, termasuk Indonesia. Sebagai ekonomi terbuka, Indonesia tidak kebal terhadap gelombang tekanan harga global, terutama pada komoditas impor dan barang modal. Kenaikan harga pangan dan energi global dapat dengan cepat mempengaruhi inflasi dalam negeri.
Ketahanan ekonomi Indonesia akan diuji oleh kemampuan mengelola stabilitas harga (melalui kebijakan Bank Indonesia dan pemerintah) sambil menjaga momentum pertumbuhan. Diversifikasi rantai pasok, penguatan sektor pangan domestik, dan kebijakan subsidi yang tepat sasaran menjadi lebih krusial dari sebelumnya. Analisis dari finbold.com, yang diterbitkan pada 30 Desember 2025, ini mengingatkan bahwa badai ekonomi global mungkin belum benar-benar reda, dan kesiapan adalah kunci untuk menghadapi kemungkinan harga mencapai rekor tertinggi di tahun 2026.
#Ekonomi #Inflasi #HargaGlobal #Resesi #Stagflasi

