AS Larang Mantan Komisioner UE Breton Masuk: Sanksi Baru dalam Perang Teknologi Global
📷 Image source: images.ft.com
Larangan Masuk yang Mengguncang Hubungan Transatlantik
Tindakan AS terhadap Arsitek Regulasi Digital Eropa
Pemerintah Amerika Serikat secara resmi melarang mantan Komisioner Uni Eropa untuk Pasar Internal, Thierry Breton, memasuki wilayahnya. Keputusan ini, dilaporkan pertama kali oleh ft.com pada 2025-12-24T16:56:03+00:00, juga menyasar sejumlah pejabat dan regulator Eropa lainnya yang terlibat dalam perumusan undang-undang teknologi Blok 27 negara tersebut.
Larangan ini merupakan eskalasi signifikan dalam ketegangan perdagangan dan regulasi digital antara AS dan UE. Breton, yang menjabat dari 2019 hingga 2024, adalah figur kunci di balik dua paket regulasi pionir: Undang-Undang Layanan Digital (Digital Services Act/DSA) dan Undang-Undang Pasar Digital (Digital Markets Act/DMA). Kedua hukum ini dirancang untuk membatasi kekuatan raksasa teknologi AS seperti Alphabet (Google), Meta, Apple, dan Amazon.
Siapa Thierry Breton dan Mengapa Dia Disasar?
Profil Arsitek Regulasi yang Menantang Dominasi Teknologi AS
Thierry Breton adalah mantan CEO perusahaan teknologi Prancis Atos dan Menteri Keuangan Prancis sebelum memimpin portofolio Pasar Internal di Komisi Eropa. Portofolionya mencakup kebijakan digital, yang memberinya mandat luas untuk merancang aturan main baru bagi ekonomi digital. Selama masa jabatannya, Breton dikenal sebagai pendukung kuat kedaulatan digital Eropa dan regulator yang gigih menantang praktik yang dianggap anti-persaingan.
Menurut ft.com, larangan masuk AS terhadap Breton didasarkan pada klaim bahwa kebijakan yang dia usung selama menjabat secara tidak adil menargetkan perusahaan teknologi Amerika dan membahayakan kepentingan keamanan nasional AS. Sumber-sumber yang dikutip menyebutkan bahwa otoritas AS melihat DSA dan DMA sebagai alat proteksionisme yang menyamar, yang dirancang untuk memberi keuntungan bagi perusahaan teknologi Eropa dengan membebani pesaing AS dengan kewajiban regulasi yang berat.
Paket Regulasi yang Memicu Kontroversi: DSA dan DMA
Mengurai Dua Pilar Hukum yang Mengubah Lanskap Digital Eropa
Undang-Undang Layanan Digital (DSA) dan Undang-Undang Pasar Digital (DMA) adalah paket regulasi komprehensif yang disahkan Uni Eropa untuk menciptakan ruang digital yang lebih aman, adil, dan kompetitif. DSA berfokus pada transparansi konten online dan akuntabilitas platform, mewajibkan perusahaan seperti Meta dan X (sebelumnya Twitter) untuk mengelola risiko sistemik seperti misinformasi. Sementara itu, DMA secara langsung menargetkan perusahaan yang ditetapkan sebagai "penjaga gerbang" (gatekeepers) dengan aturan ketat untuk mencegah mereka memonopoli pasar.
Aturan-aturan ini memaksa perubahan operasional besar-besaran pada perusahaan teknologi besar, yang sebagian besar berkantor pusat di AS. Misalnya, DMA mewajibkan interoperabilitas pesan antar aplikasi, membuka ekosistem tertutup seperti Apple App Store, dan melarang preferensi mandiri (self-preferencing). Bagi banyak pengamat, langkah AS melarang Breton adalah reaksi langsung terhadap dampak finansial dan strategis dari aturan-aturan ini terhadap raksasa teknologi Amerika.
Dampak Langsung dan Sinyal ke Pasar Global
Konsekuensi bagi Hubungan Bisnis dan Diplomasi Digital
Larangan masuk terhadap mantan komisioner tingkat tinggi UE adalah preseden diplomatik yang langka antara sekutu tradisional. Tindakan ini tidak hanya membatasi perjalanan Breton tetapi juga mengirim sinyal keras kepada regulator Eropa saat ini dan masa depan tentang potensi konsekuensi pribadi dari merancang kebijakan yang dianggap merugikan AS. Ini dapat mendinginkan minkat para ahli dan pembuat kebijakan Eropa untuk terlibat dalam dialog terbuka dengan rekan AS mereka.
Dari perspektif bisnis, keputusan ini meningkatkan ketidakpastian regulasi bagi perusahaan teknologi yang beroperasi di kedua wilayah. Investor mungkin mempertimbangkan kembali eksposur mereka di sektor teknologi karena risiko geopolitik yang meningkat. Selain itu, negara-negara lain yang sedang merancang regulasi digital sendiri, seperti Inggris, Jepang, India, dan Brasil, kini harus mempertimbangkan reaksi AS yang potensial terhadap kebijakan mereka, yang dapat memperlambat atau mengubah arah inisiatif regulasi global.
Respon Uni Eropa: Solidaritas dan Potensi Pembalasan
Blok Eropa Bersiap Memberikan Tanggapan yang Terkoordinasi
Menanggapi berita tersebut, pejabat tinggi Uni Eropa telah menyatakan solidaritas penuh dengan Thierry Breton dan pejabat lainnya yang disanksi. Seorang juru bicara Komisi Eropa menyebut langkah AS sebagai "tidak proporsional dan merusak kerja sama transatlantik yang telah dibangun puluhan tahun." Ada indikasi bahwa UE sedang mempertimbangkan opsi untuk membalas, meskipun sifat pastinya belum diumumkan secara publik.
Opsi pembalasan yang mungkin diperdebatkan secara internal termasuk memperketat implementasi DSA dan DMA terhadap perusahaan AS, menunda atau memblokir persetujuan regulasi untuk merger yang melibatkan perusahaan AS, atau bahkan menerapkan daftar larangan masuk timbal balik terhadap pejabat AS tertentu yang dianggap memusuhi agenda regulasi digital Eropa. Namun, menurut analis yang dikutip ft.com, UE juga harus berhati-hati untuk tidak memicu perang sanksi penuh yang dapat merusak ekonomi kedua belah pihak.
Konteks Sejarah: Dari Persekutuan ke Persaingan Strategis
Hubungan AS-UE dalam Regulasi Teknologi yang Semakin Retak
Ketegangan ini bukan muncul tiba-tiba. Akarnya dapat ditelusuri kembali ke skandal Cambridge Analytica dan pengawasan data massal Edward Snowden, yang merusak kepercayaan Eropa terhadap model tata kelola teknologi AS. Perbedaan filosofis mendasar semakin melebar: AS cenderung pada pendekatan berbasis inovasi dengan regulasi minimal, sementara UE menekankan hak-hak fundamental, perlindungan konsumen, dan kedaulatan sebagai prinsip utama.
Insiden sebelumnya, seperti pembatalan Perjanjian Privacy Shield yang mengatur transfer data transatlantik dan sengketa pajak digital, telah menciptakan landasan yang subur untuk konflik saat ini. Larangan terhadap Breton menandai pergeseran dari perselisihan di pengadilan dan meja perundingan ke tindakan geopolitik langsung yang menargetkan individu. Ini mencerminkan pandangan yang berkembang di Washington bahwa persaingan teknologi dengan China dan Eropa adalah zero-sum game, di mana keunggulan satu pihak berarti kerugian bagi pihak lain.
Analisis Dampak: Fragmentasi Internet yang Tak Terhindarkan?
Masa Depan Ruang Digital Global di Bawah Tekanan Geopolitik
Dampak jangka panjang yang paling mengkhawatirkan dari sengketa ini adalah percepatan fragmentasi internet global, sering disebut "splinternet." Dengan AS dan UE menerapkan kerangka regulasi yang saling bertentangan dan sekarang disertai sanksi personal, perusahaan teknologi akan semakin sulit beroperasi dengan model global tunggal. Mereka mungkin dipaksa untuk membuat produk dan kebijakan yang berbeda untuk setiap yurisdiksi, meningkatkan biaya dan mengurangi inovasi.
Negara-negara lain akan dipaksa untuk memilih sisi atau mengembangkan jalur ketiga. China, dengan Great Firewall dan regulasi teknologinya yang ketat, telah lama menjalankan model fragmentasi. India dan Indonesia, dengan pasar digital yang besar dan berkembang, mungkin melihat ini sebagai peluang untuk memberlakukan regulasi mereka sendiri yang melayani kepentingan nasional. Hasilnya bisa berupa dunia digital yang terpecah menjadi beberapa blok yang terpisah, bertentangan dengan visi awal internet sebagai jaringan global yang terbuka dan terhubung.
Risiko dan Batasan dari Kebijakan Sanksi Personal
Mengapa Menargetkan Individu Bisa Menjadi Bumerang
Kebijakan melarang mantan pejabat asing masuk memiliki risiko signifikan. Pertama, ini dapat dianggap sebagai pelanggaran norma diplomatik dan menghambat komunikasi informal yang penting untuk menyelesaikan sengketa. Kedua, ini berpotensi memicu siklus balas dendam, di mana UE membalas dengan tindakan serupa, menjebak hubungan dalam spiral konfrontasi yang semakin dalam. Ketiga, ini dapat mempersulit perekrutan talenta global di sektor teknologi AS, karena para ahli mungkin enggan terlibat dalam proyek yang berisiko membuat mereka dikucilkan secara internasional.
Selain itu, efektivitas sanksi semacam itu dipertanyakan. Regulasi seperti DSA dan DMA adalah produk proses demokratis dan birokratis yang melibatkan ratusan pejabat, anggota parlemen, dan kelompok masyarakat sipil di Eropa. Menargetkan satu atau beberapa individu tidak akan membatalkan hukum yang telah disahkan. Sebaliknya, ini justru dapat mempersatukan opini publik dan politik Eropa di belakang regulasi tersebut, melihatnya sebagai simbol perlawanan terhadap tekanan asing.
Mekanisme Teknis: Bagaimana Larangan Masuk Diterapkan?
Proses Hukum di Balik Keputusan untuk Melarang Individu
Larangan masuk AS terhadap warga negara asing biasanya diterapkan berdasarkan otoritas hukum yang diberikan kepada Departemen Luar Negeri dan Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS). Seringkali, ini menggunakan ketentuan dalam Undang-Undang Keimigrasian dan Kebangsaan yang melarang masuknya individu yang dianggap merugikan kepentingan AS. Prosesnya bisa dimulai dengan rekomendasi dari badan intelijen atau departemen pemerintah seperti Departemen Perdagangan atau Perwakilan Perdagangan AS (USTR).
Setelah keputusan diambil, nama individu tersebut dimasukkan ke dalam database pengawasan perbatasan. Saat orang tersebut mencoba mendapatkan visa atau tiba di pintu masuk AS, mereka akan ditolak. Dalam kasus Breton, sebagai mantan menteri kabinet dan komisioner UE, dia kemungkinan memegang visa diplomatik atau bisnis yang sekarang dicabut atau dibatalkan. Proses banding terbatas, terutama ketika alasan larangan dikaitkan dengan alasan keamanan nasional, yang sering kali dirahasiakan.
Perbandingan Internasional: Pendekatan Negara Lain terhadap Regulasi Teknologi
Belajar dari China, India, dan Inggris
Sementara konflik AS-UE memanas, penting untuk melihat bagaimana negara besar lain menangani regulasi teknologi. China telah mengambil pendekatan paling tegas dengan Great Firewall, undang-undang keamanan siber, dan kontrol ketat atas data, yang jelas-jelas membatasi perusahaan asing. India telah memberlakukan aturan yang mewajibkan penyimpanan data lokal dan memberikan kewenangan luas kepada pemerintah untuk meminta data dari platform. Inggris, pasca-Brexit, sedang mengembangkan kerangka regulasi digitalnya sendiri yang mungkin berbeda dari UE.
Tidak satupun dari negara-negara ini yang menghadapi sanksi personal AS dalam skala seperti terhadap Breton, meskipun kebijakan mereka juga mempengaruhi perusahaan AS. Perbedaan ini mungkin mencerminkan perhitungan geopolitik yang lebih luas, di mana AS melihat UE—sebagai sekutu dan pesaing ekonomi—secara berbeda dari China yang dianggap sebagai pesaing strategis, atau India sebagai mitra penting untuk mengimbangi China. Ini menunjukkan bahwa sanksi terhadap Breton mungkin lebih bersifat politis dan simbolis daripada murni tentang substansi regulasi.
Masa Depan Tata Kelola Digital Global
Mencari Jalan Keluar dari Kebuntuan yang Berbahaya
Jalan ke depan membutuhkan kearifan dan kemauan politik dari kedua belah pihak. Salah satu proposal adalah memperkuat forum multilateral seperti Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) atau Dewan Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) untuk mengembangkan prinsip-prinsip global tata kelola digital. Pendekatan lain adalah merundingkan perjanjian digital transatlantik baru yang menyeimbangkan perlindungan konsumen dengan kepastian bagi bisnis, meskipun prospeknya sekarang suram.
Yang jelas, perang sanksi dan fragmentasi digital merugikan semua pihak: perusahaan menghadapi biaya tinggi, konsumen menghadapi layanan yang kurang inovatif, dan masyarakat demokratis kehilangan platform bersama untuk menetapkan standar nilai-nilai bersama seperti hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi. Menurut ft.com, beberapa pengamat masih berharap insiden ini akan memicu kesadaran akan risiko dan mendorong kembali ke meja perundingan, tetapi momentum saat ini tampaknya mengarah pada perpecahan yang lebih dalam.
Perspektif Pembaca
Konflik antara kekuatan besar dalam menentukan masa depan internet ini berdampak langsung pada kita semua sebagai pengguna digital. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk membatasi kekuatan perusahaan teknologi raksasa dan melindungi data pribadi. Di sisi lain, fragmentasi internet dapat membatasi akses informasi dan inovasi.
Bagaimana menurut Anda? Sebagai pengguna internet di Indonesia, apakah Anda lebih khawatir dengan dominasi perusahaan teknologi besar atau dengan risiko internet yang terfragmentasi menjadi "blok-blok" digital yang terpisah? Bagaimana seharusnya Indonesia, dengan pasar digital yang besar dan berkembang, menavigasi persaingan regulasi antara AS dan UE ini? Silakan bagikan perspektif Anda berdasarkan pengalaman dan pengamatan Anda sehari-hari di dunia online.
#AS #UniEropa #PerangTeknologi #DSA #DMA #ThierryBreton

