Kebijakan Trump yang Mengabaikan Pelanggaran HAM Internasional: Dampak dan Kontroversi
📷 Image source: theintercept.com
Perintah Kontroversial dari Gedung Putih
Trump Meminta Departemen Luar Negeri Tutup Mata
Pada 8 Agustus 2025, mantan Presiden AS Donald Trump mengeluarkan perintah yang mengguncang dunia diplomasi internasional. Ia meminta Departemen Luar Negeri AS untuk tidak lagi menjadikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sebagai pertimbangan utama dalam hubungan bilateral dengan negara lain.
Ini bukan sekadar perubahan kebijakan kecil. Langkah ini secara efektif membongkar salah satu pilar diplomasi AS selama puluhan tahun: tekanan terhadap rezim otoriter untuk menghormati HAM. Trump, yang dikenal pragmatis dalam urusan luar negeri, tampaknya memprioritaskan kepentingan ekonomi dan keamanan nasional di atas nilai-nilai demokrasi.
Reaksi Dunia yang Terbelah
Sekutu Senang, Aktivis Murka
Negara-negara seperti Arab Saudi, Mesir, dan China—yang sering dikritik AS karena catatan HAM buruk—diperkirakan akan mendapat keuntungan besar dari kebijakan ini. Sumber di Kementerian Luar Negeri China bahkan menyebutnya sebagai 'langkah realistis yang akan memperdalam kerja sama ekonomi AS-China'.
Namun, organisasi HAM seperti Amnesty International dan Human Rights Watch bereaksi keras. Agnes Callamard, Sekjen Amnesty, menyatakan, 'Ini adalah hari kelam bagi korban pelanggaran HAM di seluruh dunia. AS secara resmi meninggalkan perannya sebagai penjaga hak asasi manusia.'
Dampak Langsung pada Korban
Suara yang Semakin Terpinggirkan
Di balik retorika politik, kebijakan ini memiliki konsekuensi nyata. Aktivis HAM di negara-negara seperti Myanmar dan Filipina mengaku khawatir. 'AS adalah salah satu dari sedikit negara yang masih mendengar kami. Sekarang, kami benar-benar sendirian,' ujar Delia Silva, aktivis Filipina yang keluarganya menjadi korban perang narkoba Duterte.
Di Amerika Latin, kelompok keluarga korban kekerasan negara juga menyuarakan keprihatinan serupa. Kebijakan Trump diperkirakan akan memperkuat posisi rezim seperti Venezuela dan Nikaragua yang selama ini mendapat tekanan AS.
Pertarungan Politik di Washington
Kongres vs Gedung Putih
Di dalam negeri, kebijakan Trump memicu pertentangan sengit. Senator Demokrat Elizabeth Warren langsung mengancam akan mengajukan resolusi penolakan. 'Ini pengkhianatan terhadap nilai-nilai Amerika,' tegasnya dalam konferensi pers.
Sementara itu, beberapa Republikan justru mendukung langkah Trump. Senator Tom Cotton berargumen, 'Kita tidak bisa terus mengurusi HAM negara lain sementara musuh-musuh kita seperti China dan Rusia terus mengancam.'
Pertarungan ini diperkirakan akan berlanjut hingga pemilu 2026, dengan isu HAM internasional menjadi salah satu garis batas antara Demokrat dan sayap kanan Republikan.
Masa Depan Diplomasi HAM AS
Arah Baru atau Jalan Buntu?
Para ahli kebijakan luar negeri terbelah dalam menilai langkah Trump. Ada yang melihatnya sebagai penyesuaian realistis di dunia yang semakin kompetitif. 'AS tidak bisa lagi menjadi polisi dunia,' kata John Mearsheimer dari University of Chicago.
Namun, yang lain memperingatkan konsekuensi jangka panjang. 'Ini bukan hanya tentang moralitas. Pengabaian HAM akan merusak kredibilitas AS dan memperlemah aliansi dengan negara-negara demokratis,' jelas Samantha Power, mantan Duta Besar AS untuk PBB di era Obama.
Satu hal yang pasti: kebijakan Trump ini akan terus bergema, tidak hanya di koridor kekuasaan Washington, tetapi juga di penjara-penjara politik di seluruh dunia tempat para aktivis HAM ditahan.
#Trump #HAM #Diplomasi #PolitikInternasional #AmerikaSerikat

