Trump dan Batas Waktu Gencatan Senjata: Mimpi yang Tak Tercapai di Ukraina
📷 Image source: api.time.com
Janji yang Menggantung
Trump dan Retorika Penyelesaian Cepat
Donald Trump kembali membuat pernyataan yang mengguncang panggung politik internasional. Dalam sebuah pidato baru-baru ini, ia mengklaim bisa mengakhiri perang di Ukraina dalam 24 jam jika terpilih kembali sebagai presiden AS. Tapi seperti banyak janji Trump, ini lebih mirip retorika bombastis ketimbang rencana konkret.
Para analis kebijakan luar negeri segera mengecam pernyataan tersebut. Tanpa rincian strategis, klaim Trump terdengar seperti ilusi. Apalagi, konflik Ukraina-Rusia sudah berlarut-larut sejak 2014, dengan eskalasi besar terjadi setelah invasi penuh Rusia pada Februari 2022.
Realitas di Lapangan
Kompleksitas Perang yang Tak Sesederhana Twit
Perang di Ukraina bukan sekadar pertikaian dua negara. Ini adalah proxy war antara blok Barat yang dipimpin AS dan Rusia dengan sekutunya. Lebih dari 200.000 tentara dari kedua belah pihak telah tewas, menurut perkiraan terbaru. Kota-kota seperti Mariupol hancur lebur, dan jutaan pengungsi tersebar di Eropa.
Trump, yang dikenal karena kedekatannya dengan Vladimir Putin, mengabaikan fakta bahwa Rusia terus menolak gencatan senjata tanpa syarat. Moskow bersikeras Ukraina harus menyerahkan wilayah yang sudah dicaploknya—permintaan yang tak mungkin diterima Kyiv.
Dilema Diplomasi
Mengapa Batas Waktu 24 Jam Hanya Fantasi
Sejarah menunjukkan perdamaian tak bisa dipaksakan dalam hitungan jam. Proses perdamaian membutuhkan negosiasi rumit, verifikasi, dan kompromi dari semua pihak. Bahkan perjanjian Minsk 2015, yang difasilitasi Jerman dan Prancis, akhirnya gagal mencegah perang besar.
Pakar hubungan internasional seperti John Mearsheimer dari Universitas Chicago menyebut klaim Trump sebagai "omong kosong berbahaya". Menekan Ukraina untuk menyerah hanya akan memperkuat agresi Rusia dan meruntuhkan kepercayaan sekutu NATO terhadap AS.
Efek Domino Global
Jika AS Meninggalkan Ukraina
Retorika Trump bukan tanpa konsekuensi. Para pemimpin Eropa sudah khawatir dengan kemungkinan kembalinya Trump ke Gedung Putih. Mereka ingat betul bagaimana di masa jabatan pertamanya, Trump hampir memutus aliansi dengan NATO dan memuji Putin secara terbuka.
China juga mengamati. Jika AS menarik dukungan untuk Ukraina, Beijing mungkin melihat ini sebagai lampu hijau untuk aksi militer terhadap Taiwan. Dampaknya bisa mengubah peta kekuatan global dalam semalam.
Suara dari Kyiv
Reaksi Ukraina yang Getir
Presiden Volodymyr Zelensky, yang selama ini berhati-hati menyikapi politik AS, kali ini tak bisa diam. "Kami butuh senjata, bukan batas waktu palsu," katanya dalam wawancara eksklusif dengan TIME. Rakyat Ukraina, lanjutnya, lebih memilih bertahan daripada menyerah pada kediktatoran.
Di tengah serangan rudal Rusia yang terus berlanjut, warga Kyiv seperti Anna Kovalenko (42) menyatakan skeptisisme: "Trump berbicara seperti pedagang di pasar, bukan negarawan. Perang kami tak bisa diakhiri dengan cuitan Twitter."
Pelajaran dari Sejarah
Mengapa Penyelesaian Cepat Sering Berujung Bencana
Perjanjian perdamaian yang terburu-buru biasanya menuai bencana. Perjanjian Versailles 1919 yang terlalu keras pada Jerman justru memicu Perang Dunia II. Kesepakatan damai Dayton 1995 untuk Bosnia butuh 21 hari negosiasi maraton—bukan 24 jam.
Sejarawan Margaret MacMillan memperingatkan: "Perdamaian palsu lebih berbahaya daripada perang terbuka." Jika Trump serius ingin mengakhiri pertumpahan darah, ia harus mulai dengan mendengarkan para veteran diplomatik, bukan hanya mengandalkan instingnya.
#Trump #Ukraina #Rusia #Perang #Politik

