Mark Zuckerberg dan Kontroversi Definisi 'Berbuat Baik' untuk Anak Kurang Mampu
📷 Image source: i.guim.co.uk
Zuckerberg dan Proyek Terbarunya: Pickleball untuk Anak Kurang Mampu
Inisiatif atau Distraksi?
Mark Zuckerberg, pendiri Meta yang kerap menjadi sorotan, kembali membuat gebrakan dengan proyek terbarunya: memperkenalkan olahraga pickleball kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu. Dilaporkan oleh theguardian.com pada 13 Agustus 2025, proyek ini menuai beragam reaksi. Di satu sisi, ada yang memuji niat baiknya. Di sisi lain, banyak yang mempertanyakan apakah ini benar-benar solusi untuk masalah struktural yang dihadapi anak-anak tersebut.
Pickleball, olahraga yang mirip dengan tenis dan bulu tangkis, sedang naik daun di AS. Tapi apakah olahraga ini relevan bagi anak-anak yang mungkin lebih membutuhkan akses pendidikan, nutrisi, atau layanan kesehatan? Pertanyaan ini menggelitik banyak pihak, termasuk para aktivis sosial.
Latar Belakang: Dari Teknologi ke Olahraga
Perjalanan Filantropi Zuckerberg
Zuckerberg bukan baru dalam dunia filantropi. Bersama istrinya, Priscilla Chan, ia mendirikan Chan Zuckerberg Initiative (CZI) pada 2015, yang fokus pada pendidikan, kesehatan, dan kesetaraan. Namun, proyek-proyek sebelumnya sering dikritik karena terlalu teknokratis atau tidak menyentuh akar masalah.
Kini, dengan beralih ke olahraga, Zuckerberg seolah ingin mengambil pendekatan yang lebih 'nyata'. Tapi apakah pickleball benar-benar bisa menjadi alat perubahan? Atau ini hanya cara lain untuk menghindari tanggung jawab yang lebih besar, seperti regulasi platformnya sendiri yang sering dituding merusak kesehatan mental anak muda?
Reaksi Publik: Antara Apresiasi dan Sinisme
Di media sosial, proyek ini dibagi menjadi dua kubu. Ada yang melihatnya sebagai upaya positif untuk mempromosikan gaya hidup sehat dan inklusivitas. Namun, tidak sedikit yang sinis. 'Daripada mengajarkan pickleball, lebih baik berikan mereka beasiswa atau akses internet yang layak,' tulis salah satu komentar di Twitter.
Emma Brockes, penulis artikel di The Guardian, menyoroti ironi dalam aksi Zuckerberg ini. Menurutnya, definisi 'berbuat baik' bagi miliarder seperti Zuckerberg seringkali terlepas dari realitas sehari-hari masyarakat biasa.
Pickleball: Olahraga Elit atau untuk Semua?
Analisis Kesenjangan Sosial
Pickleball, meski terlihat sederhana, sebenarnya membutuhkan peralatan dan lapangan khusus. Di AS, olahraga ini populer di kalangan menengah atas. Lalu, bagaimana dengan anak-anak dari keluarga kurang mampu yang mungkin tidak memiliki akses ke fasilitas tersebut setelah proyek ini selesai?
Ini mengingatkan pada kritik serupa terhadap program-program filantropi lainnya: seringkali tidak berkelanjutan atau hanya bersifat simbolis. Apakah Zuckerberg memiliki rencana jangka panjang, atau ini sekadar pencitraan?
Perbandingan dengan Filantropi Tech Lainnya
Zuckerberg bukan satu-satunya miliarder tech yang aktif di filantropi. Bill Gates, misalnya, fokus pada vaksinasi dan perubahan iklim. Sementara Elon Musk lebih banyak berinvestasi dalam proyek-proyek futuristik seperti kolonisasi Mars.
Namun, yang membedakan Zuckerberg adalah kedekatannya dengan isu-isu sosial yang langsung berdampak pada masyarakat. Sayangnya, proyek-proyeknya sering kali terkesan tidak terukur atau terlalu idealis. Pickleball untuk anak kurang mampu mungkin terdengar mulia, tapi apakah dampaknya bisa dirasakan?
Dampak di Indonesia: Apakah Relevan?
Belajar dari Kasus Zuckerberg
Di Indonesia, filantropi dari taipan tech juga mulai marak. Namun, kasus Zuckerberg ini bisa menjadi pelajaran: berbuat baik tidak cukup hanya dengan proyek yang terlihat 'keren' atau trendi.
Anak-anak kurang mampu di Indonesia mungkin lebih membutuhkan akses ke pendidikan digital, beasiswa, atau program pelatihan keterampilan. Olahraga penting, tapi harus disesuaikan dengan konteks lokal. Pickleball, misalnya, hampir tidak dikenal di sini. Apakah filantropi di Indonesia bisa belajar dari kesalahan Zuckerberg?
Etika Filantropi: Siapa yang Menentukan Apa yang 'Baik'?
Ini adalah pertanyaan mendasar yang muncul dari proyek Zuckerberg. Seringkali, miliarder seperti dia menentukan sendiri apa yang 'baik' untuk masyarakat, tanpa benar-benar memahami kebutuhan mereka.
Emma Brockes dalam artikelnya menyinggung hal ini: ketika kekuasaan dan uang terkonsentrasi di tangan segelintir orang, definisi 'berbuat baik' pun bisa terdistorsi. Apakah kita butuh lebih banyak regulasi atau transparansi dalam filantropi? Ini menjadi PR besar tidak hanya untuk AS, tapi juga global.
Masa Depan Filantropi Tech: Arah yang Lebih Inklusif?
Proyek pickleball Zuckerberg mungkin hanya sebuah contoh kecil dari tren yang lebih besar. Filantropi tech seringkali terjebak dalam solusi-solusi yang terlihat inovatif, tapi tidak selalu menyentuh akar masalah.
Ke depan, mungkin kita perlu pendekatan yang lebih kolaboratif, melibatkan komunitas yang menjadi target program. Bukan hanya top-down dari para miliarder. Bagaimanapun, berbuat baik seharusnya bukan tentang pencitraan, tapi tentang dampak yang nyata dan berkelanjutan.
#MarkZuckerberg #Filantropi #Pickleball #Kontroversi #Sosial

