Makanan Ultra-Proses Hambat Penurunan Berat Badan, Meski Diet Sehat
📷 Image source: ft.com
Temuan Mengejutkan: Diet Sehat Tak Cukup
Studi Terbaru Ungkap Dampak Tersembunyi Makanan Ultra-Proses
Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah ternama membongkar mitos lama: mengonsumsi makanan ultra-proses bisa menggagalkan upaya penurunan berat badan, bahkan ketika seseorang menjalani diet sehat secara keseluruhan.
Tim peneliti dari National Institutes of Health (NIH) AS menemukan bahwa partisipan yang mengonsumsi lebih dari 25% kalori harian dari makanan ultra-proses mengalami penurunan berat badan 30% lebih lambat dibandingkan mereka yang membatasi asupan tersebut di bawah 10%.
Apa Itu Makanan Ultra-Proses?
Lebih dari Sekadar 'Junk Food' Biasa
Makanan ultra-proses tidak sama dengan fast food biasa. Kategori ini mencakup produk yang telah melalui berbagai tahap industri, mengandung bahan tambahan seperti pengawet, pemanis buatan, dan perasa sintetis.
Contohnya termasuk sereal sarapan kemasan, roti putih industri, nugget ayam olahan, hingga minuman 'diet' berlabel sehat. Bahkan beberapa produk yang mengklaim 'rendah lemak' atau 'tinggi protein' masuk dalam kategori ini jika melalui proses kimiawi ekstensif.
Mekanisme Biologis di Balik Temuan
Bagaimana Makanan Olahan Mengelabui Tubuh
Dr. Kevin Hall, peneliti utama studi ini, menjelaskan bahwa makanan ultra-proses memengaruhi metabolisme melalui beberapa cara. Pertama, struktur makanan yang sudah 'dipreteli' membuat tubuh lebih mudah menyerap kalori, mengurangi energi yang dibutuhkan untuk pencernaan.
Kedua, tambahan gula, garam, dan lemak industri merangsang pusat reward di otak secara berlebihan, mirip dengan mekanisme kecanduan. "Tubuh kita berevolusi untuk mengolah makanan alami, bukan koktail kimia hasil rekayasa pabrik," ujar Hall dalam wawancara eksklusif.
Dampak Jangka Panjang bagi Kesehatan Publik
Krisis Obesitas yang Semakin Kompleks
Temahami temuan ini menjadi krusial mengingat 60% kalori yang dikonsumsi warga Amerika Serikat sekarang berasal dari makanan ultra-proses. Angka serupa mulai terlihat di negara berkembang, termasuk Indonesia yang mengalami peningkatan konsumsi makanan kemasan sebesar 12% per tahun.
Profesor Gizi Universitas Indonesia, Dr. Rina Agustina, menyoroti bahwa masalahnya bukan sekadar obesitas. "Kami melihat korelasi kuat antara konsumsi makanan ultra-proses dengan peningkatan kasus diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular pada usia muda," paparnya.
Solusi di Tengah Realitas Modern
Strategi Praktis untuk Konsumen
Meski menghindari sepenuhnya sulit di era modern, para ahli menyarankan beberapa pendekatan realistis. Pertama, menerapkan 'aturan 80/20' - 80% makanan segar/olahan minimal, 20% untuk produk kemasan.
Kedua, membaca label dengan kritis. "Jika daftar bahan mengandung nama yang tidak Anda kenal atau tidak bisa diucapkan, itu tanda peringatan," saran ahli diet klinis, Maria Adams. Terakhir, memasak dari bahan dasar sesering mungkin, meski dengan resep sederhana.
Tantangan Regulasi dan Industri
Peran Pemerintah dalam Melindungi Konsumen
Studi ini memicu debat tentang perlunya regulasi lebih ketat. Beberapa negara seperti Chile dan Meksiko telah menerapkan label peringatan dan pajak khusus untuk makanan ultra-proses.
Namun, lobi industri makanan kuat. "Kami tidak melarang, tapi konsumen berhak tahu apa yang mereka makan," tegas Dr. Francesco Branca dari WHO. Di Indonesia, BPOM mulai mengkaji sistem label baru yang lebih transparan, meski implementasinya masih menghadapi tantangan besar.
#kesehatan #diet #makanansehat #obesitas #nutrisi

